Kamis, 29 November 2018

2 PEREMPUAN ASING INI ADALAH PENULIS PIDATO BUNG KARNO

Poker Uang AsliHari ini sudah beranjak jpspoker sore saat  laki-laki itu telah datang ke rumah Camel Brickman Budiardjo di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, pada 3 September 1968.
Di rumah Camel saat itu, sedang ada dua orang muridnya, sudah beberapa lama Camel mengajarkan bahasa inggris di  rumahnya setelah dia diberhentikan dari kementerian 
Luar Negeri.


2 PEREMPUAN ASING INI ADALAH PENULIS PIDATO BUNG KARNO
2 PEREMPUAN ASING INI ADALAH PENULIS PIDATO BUNG KARNO

KRONOLOGI PEMBUATAN PIDATO BUNG KARNO 


Ketika Carmel datang menemuinya di ruang tamu, laki-laki itu sudah duduk santai dengan kaki terjulur. "Apa Anda Ibu Carmel?" dia bertanya. Carmel mengiyakan. "Apa yang Tuan inginkan?" Carmel bertanya. "Anda harus ikut kami dan menjawab beberapa pertanyaan....Tidak akan lama," kata laki-laki itu. Seorang temannya, turun dari mobil dan datang menghampiri. Dia berseragam tentara dan menyandang senjata.

Seketika Carmel paham apa yang dimaksud dengan perintah 'menjawab beberapa pertanyaan' itu. "Ke mana Anda hendak membawa saya? Apakah Anda membawa surat perintah?" Carmel bertanya, seperti dikutip dalam bukunya, Bertahan Hidup di Gulag Indonesia. Laki-laki itu jadi hilang kesabaran. "Jangan buang waktu. Ayo, cepat!"

LOKASI PUMBUATAN PIDATO BUNG KARNO

Carmel Brickman lahir pada 1924 di London, Inggris, dari keluarga Yahudi. Dia mendapatkan gelar sarjana ekonomi dari London School of Economics pada 1946. Saat bekerja di kantor Sekretariat International Union of Students yang berkedudukan di Praha, Cekoslowakia, dia bertemu dengan warga Indonesia, Suwondo Budiardjo. Suwondo kuliah di jurusan ilmu politik Universitas Charles di Praha. Mereka menikah di Praha pada 1950 dan pulang ke Indonesia setahun kemudian. Carmel mendapat kewarganegaraan Indonesia pada 1954.

Carmel sempat bekerja di kantor berita Antara, juga mengajar di dua universitas, Universitas Res Publica dan Universitas Padjajaran. Sejak awal 1960-an, dia bekerja di Biro Ekonomi Kementerian Luar Negeri. Waktu masih tinggal di Inggris, Carmel sudah aktif di kelompok 'kiri'. Di Indonesia pun, Carmel dekat dengan tokoh-tokoh komunis seperti Njoto dan aktif di organisasi Himpunan Sarjana Indonesia.

PENDAPAT CAMEL TENTANG PKI

Tapi menurut Carmel, dia tak pernah menjadi anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Kedekatan dengan tokoh-tokoh komunis itu lah yang bakal membuatnya berurusan dengan tentara setelah peristiwa 1 Oktober 1965. Setelah pembunuhan para jenderal TNI Angkatan Darat pada hari itu, para tokoh PKI, anggota PKI dan organisasi yang dekat dengan PKI, bahkan orang-orang yang 'berbau' PKI pun diburu, ditangkap, dan dijebloskan ke tahanan. Sebagian besar ditahan tanpa lewat pengadilan. Termasuk Suwondo Budiardjo, suami Carmel. Saat itu, Suwondo merupakan salah satu pejabat senior di Kementerian Angkatan Laut.

Tak hanya bekerja di Kementerian Luar Negeri. Carmel juga merupakan salah satu penulis pidato untuk Presiden Sukarno. Dia biasa bekerja bersama Njoto, Menteri Negara dalam Kabinet Dwikora dan mantan Ketua II Komite Pusat Partai PKI. Selain Carmel, ada satu lagi 'perempuan asing' yang jadi penulis pidato Bung Karno, yakni Molly Warner, perempuan asal Australia yang menikah dengan warga Indonesia, Mohammad Bondan. Molly merupakan anggota tim penulis pidato di bawah Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri, dr. Soebandrio. Dua tim penulis pidato ini saling 'bersaing' untuk dipilih Bung Karno.

PEMBUATAN JUDUL PIDATO BUNG KARNO

Hari itu, Kamis 8 April 1965, Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri, dr. Soebandrio, mendapat tugas mendadak dari Presiden Sukarno. Presiden meminta Soebandrio mendampingi istrinya, Ratna Sari Dewi, pergi umrah. Sehari sebelum berangkat ke Tanah Suci, Soebandrio meminta Ganis Harsono menemuinya. Kepada Ganis, Deputi Menteri Luar Negeri, Soebandrio menyerahkan beberapa lembar kertas bertuliskan rancangan pidato Presiden untuk peringatan Satu Dasawarsa Konferensi Asia Afrika. Soebandrio menyusun naskah pidato itu bersama Molly Bondan.

Mereka memberi judul naskah pidato itu, Keep the Bandung Spirit High. "Tolong minta persetujuan dari Bung Karno," Soebandrio berpesan kepada Ganis, seperti dikutip dalam buku Ganis, Cakrawala Politik era Sukarno. Menurut rencana, peringatan Dasawarsa Konferensi Asia Afrika akan digelar di Jakarta dan Bandung dari 18-24 April 1965.

Lantaran waktu sudah sangat dekat, keesokan harinya, Ganis berangkat ke Istana Merdeka untuk menghadap Presiden Sukarno. "Sampai di Istana Merdeka pukul 11 saya harus menunggu beberapa lama karena Presiden sedang menerima tamu yang lain," Ganis menuturkan. Ternyata, tamu yang sedang diterima Bung Karno adalah Njoto, Menteri Negara dalam Kabinet Dwikora dan mantan Ketua II Komite Pusat Partai Komunis Indonesia (PKI).

Rupanya, hari itu, saat berpapasan dengan Ganis di Istana Merdeka, Njoto juga sedang membahas rancangan pidato Presiden. "Kami saling menyapa, kemudian dia segera berlalu," Ganis menuturkan. Begitu bertemu dengan Presiden Sukarno, Ganis segera mengutarakan niatnya menyampaikan naskah pidato dari atasannya, Soebandrio. Reaksi Bung Karno tak disangka Ganis.

"Ganis, saya sudah bosan dengan gaya tulisan pidato Soebandrio. Saya ingin pernyataan politik, bukan pidato pejabat yang pilihan kalimat-kalimatnya klise," kata Bung Karno. Sebagai singa di panggung, pidato Bung Karno memang selalu bergelora, tak pernah datar dan membosankan. "Oratory, I mind you, not a speech. Your minister has got into the habit of falling into philosophical reveries these days."

Dua hari sebelum pembukaan peringatan Dasawarsa Konferensi Asia Afrika, Soebandrio tiba kembali di Jakarta dari Arab Saudi. Ganis segera menemui bosnya dan mengembalikan rancangan pidato untuk Presiden. Tak lupa dia menyampaikan pesan-pesan dari Bung Karno. Sepanjang hari, pada 17 April 1965, bersama Molly Bondan, Soebandrio menulis ulang naskah pidato untuk Bung Karno supaya bisa dibacakan keesokan harinya.

Sore harinya, ada petugas dari Istana datang mengambil naskah pidato yang sudah ditulis ulang oleh Soebandrio dan Molly Bondan. Satu salinan lagi, oleh Ganis diserahkan kepada sekretarisnya, Ali Alatas, untuk diperbanyak dan dibagikan kepada para wartawan. Tapi apa yang terjadi di Istora Senayan keesokan harinya membuat Ganis kaget bukan kepalang.

"Acara dimulai tepat pukul 10.00. Saya duduk di samping Ali Alatas dan kami masing-masing memegang salinan naskah pidato Presiden," Ganis menuturkan. Ternyata, pidato yang dibacakan Presiden Sukarno di atas mimbar sama sekali tak mirip dengan naskah di tangan Ganis dan para wartawan. "Saya baru sadar, Presiden ternyata tak jadi memakai naskah yang disiapkan Pak Bandrio." Tanpa memberi tahu Ganis Harsono maupun Soebandrio, Presiden Sukarno memilih naskah pidato yang ditulis oleh Njoto bersama Carmel Budiardjo. Dan bukan kali itu saja Bung Karno memilih Njoto dan Carmel menuliskan pidatonya.

Setelah pembunuhan para jenderal pada 1 Oktober 1965, nasib keluarga Budiardjo berubah seratus delapan puluh derajat. Suwondo Budiardjo berkali-kali ditahan dan dilepaskan. Tapi Carmel belum 'disentuh' tentara dan intelijen militer. Baru tiga tahun kemudian, pada awal September 1968 itu lah, untuk pertama kalinya Carmel ikut diperiksa.

0 komentar:

Posting Komentar